
![]() |
Kantor Kepala Desa Gesikan, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo. (ISTIMEWA/JOGLO JATENG) |
Bendahara BUMDes Gesikan, Nt, mengungkapkan kronologi penggunaan dana tersebut dikutip kepada media joglojateng.com pada Rabu (30/04/2025). Menurut keterangannya, modal awal senilai Rp20 juta diserahkan langsung kepada Kepala Desa Gesikan berinisial Sur pada pertengahan 2023 untuk pengadaan pupuk bersubsidi.
"Kami menyerahkan uang tersebut ke rumah Kades dengan penuh kepercayaan. Bahkan saya mengajak anak saya sebagai saksi penyerahan dan ada dokumentasi fotonya," ujar Nt.
Namun program pengadaan pupuk tersebut tidak pernah terwujud. Sur berdalih hampir menjadi korban penipuan. Ironisnya, dana modal BUMDes tersebut tidak dikembalikan.
Persoalan bertambah pelik ketika Oktober 2023 turun dana tambahan sebesar Rp80 juta yang berasal dari proposal desa untuk pembelian pupuk. Dana ini diterima oleh Ketua BUMDes yang baru, Sigit, namun kemudian diserahkan kepada Kades Sur atas permintaan yang bersangkutan.
"Tahun 2024, warga mulai protes karena tidak ada pupuk yang dijanjikan. Saya jelaskan bahwa Pak Kades yang berjanji akan membelikan," tambah Nt.
Dalam upaya meredam kekecewaan warga, Sur akhirnya membelikan 3 ton pupuk menggunakan Kartu Tani pribadinya. BUMDes kemudian menjual pupuk tersebut seharga Rp150.000 per sak (50 kg), harga yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi tahun 2024 yang seharusnya hanya Rp112.500 per sak.
Ketika dikonfirmasi di kediamannya pada Sabtu (03/05/2025), Sur mengakui memegang dana BUMDes, namun dengan jumlah berbeda dari keterangan Nt.
"Uangnya tidak sampai Rp100 juta, hanya Rp74 juta yang saya pinjam sekitar akhir 2023. Ini untuk menyelamatkan modal dari tangan pengurus," kilah Sur.
Secara mengejutkan, Sur juga menuding Ketua BUMDes, Sigit, menggunakan dana sebesar Rp8,5 juta. Ia berjanji akan mengembalikan seluruh dana yang dipinjamnya setelah pengurus BUMDes diganti.
"Target saya Juli nanti BUMDes sudah clear dan uang akan saya kembalikan," janjinya.
Yang menimbulkan tanda tanya besar adalah pengakuan Sur bahwa dana BUMDes tersebut digunakan untuk menutupi kegiatan desa seperti PKK, Posyandu, dan Posbindu—kegiatan yang seharusnya bisa dibiayai dari Dana Desa. Sur juga mengklaim menggunakan dana tersebut untuk pembuatan proposal "yang menghasilkan" bagi desa.
Kasus ini menambah daftar panjang permasalahan pengelolaan BUMDes di berbagai daerah, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi desa namun seringkali terkendala masalah transparansi dan tata kelola. (jg)