
![]() |
Warga Gelar Nyadran di Desa Kedunglo |
Sebanyak 828 ekor ayam jantan dan 10 ekor kambing disembelih dalam rangkaian prosesi nyadran tahun ini. Seluruh proses penyembelihan dan memasak dilakukan oleh kaum pria sesuai aturan adat yang telah dijaga ketat sejak dahulu kala.
"Ini acara rutin tahunan setiap bulan Suro. Kalau ada Jumat Kliwon, dilaksanakan pas Jumat Kliwon, kalau tidak ada, ya Selasa Kliwon seperti hari ini," ujar Slamet, Ketua Panitia Nyadran.
Keunikan tradisi ini terletak pada keterlibatan eksklusif kaum pria dalam proses memasak di area pemakaman. Tidak ada satu pun perempuan yang diperkenankan memasak sesuai aturan adat yang berlaku. Daging ayam dan kambing yang telah dimasak kemudian dibagikan kepada masyarakat dan undangan yang hadir.
Dalam prosesi kali ini, dua ekor ayam dilaporkan mati sebelum disembelih, sementara dua lainnya kabur ke hutan. Meski demikian, hal tersebut tidak mengurangi khidmatnya pelaksanaan tradisi.
Wujud Syukur dan Nadzar
Slamet menjelaskan bahwa sebagian warga membawa ayam atau kambing sebagai perwujudan nadzar kepada Eyang Sunan Kalijago dan Sunan Geseng. Para leluhur ini dipercaya memberikan berkah keselamatan dan kesehatan bagi masyarakat.
Bagi warga yang tidak memiliki nadzar, mereka dapat berpartisipasi melalui sistem iuran. Warga Desa Kedunglo dikenakan tarif Rp 35.000, sedangkan warga dari luar desa membayar Rp 40.000.
Prosesi nyadran berlangsung dari pagi hingga sore hari dengan puncak acara sekitar pukul 13.00 WIB. Para warga berkumpul membawa tumpeng dari rumah masing-masing, kemudian bersama-sama menikmati hidangan yang telah diberkati.
Dua Lokasi Pelaksanaan
Ngaiman, Sekretaris Desa Kedunglo, menjelaskan bahwa nyadran dilaksanakan di dua lokasi sekaligus, yaitu Kedunglo Kulon Kali dan Krajan (Wetan Kali). Pemotongan hewan dalam jumlah lebih besar dilakukan di wilayah Kulon Kali.
"Ini bukan sekadar tradisi. Ini bentuk penghormatan terhadap leluhur yang telah mengajarkan banyak hal, termasuk cara bertani dan bercocok tanam," tegas Slamet.
Situs Bersejarah dan Ziarah Rutin
Petilasan Sunan Kalijago dan Sunan Geseng memiliki tempat istimewa di hati masyarakat setempat. Selain menjadi lokasi nyadran tahunan, situs ini rutin dikunjungi peziarah setiap Jumat Kliwon. Tidak jarang warga menjalani tirakat semalam suntuk di lokasi tersebut bersama juru kunci.
Bangunan petilasan telah mengalami perkembangan signifikan dari waktu ke waktu. Sebelum tahun 1981, bangunan hanya berupa pagar bambu dan payung ijuk. Kini telah berdiri kokoh dengan konstruksi permanen setelah renovasi terakhir pada tahun 2013.
Harapan Kerukunan dan Keselamatan
Sekitar 460 warga dewasa hadir dalam acara ini, belum termasuk anak-anak yang turut meramaikan suasana. Meski penuh dengan nuansa religi dan tradisi, keceriaan tetap terasa di sepanjang prosesi.
Melalui tradisi nyadran ini, masyarakat Desa Kedunglo berharap kampung halaman mereka tetap rukun, adem, tentrem, dan senantiasa mendapat perlindungan serta keselamatan dari Yang Maha Kuasa.
Tradisi nyadran di Petilasan Sunan Kalijago dan Sunan Geseng menjadi bukti kuatnya nilai-nilai leluhur yang masih terjaga di tengah perkembangan zaman. Ritual ini tidak hanya memperkuat ikatan sosial masyarakat, tetapi juga melestarikan warisan budaya spiritual yang telah diwariskan turun-temurun. (Jg)